Powered By Blogger

Jumat, 18 Februari 2011

Padang

Kota Padang
(Atas) Panorama kota Padang
(Kiri-Bawah) Tugu berbentuk tanduk kerbau di gerbang PT Semen Padang. (Kanan-Bawah) Kota Padang dengan latar bangunan kantor Gubernur yang berarsitektur Rumah Gonjong

Logo
Motto: Padang Kota Tercinta
Letak Padang di Sumatera Barat
Kota Padang terletak di Indonesia
Kota Padang
Letak Padang di Indonesia
Koordinat: 0°57′0″S 100°21′11″E / 0.95°LS 100.35306°BT / -0.95; 100.35306
Negara Indonesia
Provinsi Sumatra Barat
Hari jadi 7 Agustus 1669
Pemerintahan
 - Wali kota Fauzi Bahar
 - Wakil wali kota Mahyeldi Asharullah
 - Ketua DPRD Zulherman
Luas
 - Total 694,96 km2
Ketinggian 3 m (10 ft)
Populasi (2010[1])
 - Total 833.584
 Kepadatan 1.199/km²
Kecamatan 11[2]
Kelurahan 104
Zona waktu WIB (UTC+7)
Kode pos 25xxx
Kode telepon +62 751
Situs web www.padang.go.id
Kota Padang merupakan kota terbesar di pesisir barat pulau Sumatera dan merupakan ibu kota provinsi Sumatera Barat, Indonesia.
Sejak masa kolonial Hindia-Belanda, Kota Padang telah menjadi pelabuhan utama dalam perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Memasuki abad ke-20, ekspor batu bara dan semen mulai dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Bayur.
Nama kota ini dirujuk menjadi sebutan lain untuk etnis Minangkabau, serta digunakan juga untuk menyebut masakan khas mereka, yang pada umumnya dikenal dengan nama Masakan Padang.[3]
Saat ini kota Padang menjadi pusat perekonomian karena memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Sumatera Barat,[4] serta juga menjadi pusat pendidikan, dan kesehatan disebabkan jumlah perguruan tinggi dan fasilitas kesehatan yang ada di kota ini dibandingkan kota-kota lain di Sumatera Barat.

Sejarah

Padang sekitar tahun 1795.
Kata Padang berasal dari bahasa Minang yang dapat bermaksud pedang, namun dapat juga untuk menunjukkan lapangan tempat kota ini berada.[5]
Menurut tambo setempat, kawasan kota ini dahulunya merupakan bahagian dari kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari dataran tinggi (darek). Tempat pemukiman pertama adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Padang.[6] Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan daerah pesisir pantai barat Sumatera berada di bawah pengaruh kerajaan Pagaruyung.[7] Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah menjadi bahagian dari kedaulatan kesultanan Aceh.[8][9]
Kota Padang pada masa penjajahan Belanda.
Kota Padang telah dikunjungi oleh pelaut Inggris di tahun 1649,[10] kemudian mulai berkembang sejak kehadiran VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1663, yang diiringi dengan migrasi penduduk Minangkabau dari kawasan luhak.[11] Selain memiliki muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan dan pemukiman baru di pantai barat Sumatera untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau, selanjutnya di tahun 1668, VOC telah berhasil mengusir pengaruh kesultanan Aceh dan menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatera, hal ini diketahui dari surat regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung, yang berisi permintaan dilakukannya hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke kota ini.[12] Walaupun pada tanggal 7 Agustus 1669, terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC, namun dapat diredam oleh VOC. Peristiwa ini dikemudian hari diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.[13]
Pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai kota ini[14] akibat rentetan perang Anglo-Belanda ke-4,[15] namun kemudian dikembalikan kepada VOC setelah ditandatanganinya perjanjian Paris tahun 1784.[16]
François Thomas Le Même, seorang bajak laut dari Perancis yang bermarkas di Mauritius dengan kapal utama berkuatan 12 meriam, menguasai dan menjarah kota ini pada tahun 1793, keberhasilan Le Même diapresiasi oleh pemerintah Republik Perancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan.[17]
Kemudian pada tahun 1795, kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris,[15] namun pasca peperangan era Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kawasan ini yang kemudian dikukuhkan melalui perjanjian Traktat London yang ditandatangani tanggal 17 Maret 1824.[18]
Pada tahun 1833, residen James du Puy melaporkan terjadi gempa bumi di Padang, yang diperkirakan berkekuatan 8.6-8.9 skala Richter serta menimbulkan tsunami,[19] dan sebelumnya pada tahun 1797, juga diperkirakan oleh para ahli pernah terjadi gempa bumi berkekuatan 8.5–8.7 skala Richter, yang juga menimbulkan tsunami melanda pesisir kota Padang, dan menyebabkan kerusakan pada kawasan pantai Air Manis.[19]
Pada tahun 1837, pemerintah Hindia-Belanda menjadikan kota Padang sebagi pusat pemerintahan wilayah Gouvernement Sumatra's Westkust[20] yang meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli. Selanjutnya kota ini menjadi daerah gemeente sejak 1 April 1906 setelah keluarnya ordonansi (STAL 1906 No.151) pada tanggal 1 Maret 1906.
Menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang pada tanggal 17 Maret 1942, kota Padang telah ditinggalkan begitu saja oleh Belanda karena kepanikan mereka, dan disaat bersamaan Soekarno sempat tertahan di kota ini karena pihak Belanda waktu itu ingin membawanya turut serta melarikan diri ke Australia.[21] Kemudian panglima Angkatan Darat Jepang untuk Sumatera menemuinya untuk merundingkan nasib Indonesia selanjutnya,[22] dan setelah Jepang dapat mengendalikan situasi, kota ini kemudian dijadikan sebagai kota administratif untuk urusan pembangunan dan pekerjaan umum.[23]
Berita kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, baru sampai ke kota Padang sekitar akhir bulan Agustus, namun pada tanggal 10 Oktober 1945 tentara Sekutu telah masuk ke kota Padang melalui pelabuhan Teluk Bayur, dan kemudian kota ini diduduki selama 15 bulan.[24]
Pada tanggal 9 Maret 1950, kota Padang dikembalikan ke tangan Republik Indonesia yang sebelumnya merupakan negara bagian melalui surat keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) nomor 111. Kemudian, berdasarkan Undang-undang nomor 225 tahun 1948, Gubernur Sumatera Tengah waktu itu melalui surat keputusan nomor 65/GP-50, tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan perluasan wilayah kota Padang.[23] Pada tanggal 29 Mei 1958, Gubernur Sumatera Barat melalui surat keputusan nomor 1/g/PD/1958, secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota provinsi Sumatera Barat, dan secara de jure di tahun 1975, yang ditandai dengan keluarnya Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Kemudian, setelah menampung segala aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 17 tahun 1980, yang menetapkan perubahan batas-batas wilayah kota Padang sebagai pemerintah daerah.[25]
Kota Padang mendapat piala Adipura untuk pertama kalinya pada tahun 1986 dari Presiden Soeharto atas prestasinya menjadi salah satu kota terbersih di Indonesia. Selanjutnya di tahun 1991 kota ini juga memperoleh Adipura Kencana.[13]
Pada tanggal 30 September 2009, kota ini mengalami gempa berkekuatan 7.6 skala Richter,[26] dengan titik pusat gempa di laut pada 0.84° LS dan 99.65° BT dengan kedalaman 71 km, yang menyebabkan kehancuran 25 % infrastruktur yang ada di kota ini.[27] Dalam kunjungan serta mengawasi secara langsung proses evakuasi dan pemulihan karena bencana ini, presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh aparat pemerintah untuk mengutamakan kegiatan tanggap darurat kemudian dilanjutkan dengan rehabilitasi serta rekonstruksi.[28] Pada tanggal 27 Oktober 2010 presiden SBY kembali ke kota ini untuk meninjau dan memastikan kegiatan tanggap darurat atas bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di kepulauan Mentawai.[29]

Pariwisata

Pemandangan sunset sore hari di pantai Padang
Kota Padang terkenal akan legenda Siti Nurbaya dan Malin Kundang, dan saat ini kota Padang sedang berbenah ke arah pembangunan kepariwisataan.[126]
Kota ini memiliki sebuah museum yang terletak di pusat kota yang bernama Museum Adityawarman. Museum ini mengkhususkan diri pada sejarah dan budaya suku Minangkabau, suku Mentawai dan suku Nias. Museum ini memiliki 6.000 koleksi, dengan gaya arsitektur bangunannya berbentuk rumah adat Minangkabau (Rumah Gadang), model Gajah Maharam, serta di halaman depan museum terdapat dua lumbung padi.
Di kawasan pelabuhan Muara banyak dijumpai beberapa bangunan peninggalan sejak zaman Belanda, beberapa bangunan di kawasan tersebut ditetapkan pemerintah setempat sebagai cagar budaya, diantaranya Masjid Muhammadan bertarikh 1843, merupakan masjid berwarna hijau muda yang dibangun oleh komunitas keturunan India, Klenteng Kwan Im yang bernama See Hin Kiong tahun 1861 kemudian direnovasi kembali tahun 1905 setelah sebelumnya terbakar.[127] Dari sehiliran Batang Arau, terdapat sebuah jembatan yang bernama jembatan Siti Nurbaya. Jembatan itu menghubungkan sebuah kawasan bukit yang dikenal juga dengan nama Gunung Padang. Konon, pada bukit ini terdapat kuburan Siti Nurbaya.[128] Kawasan bukit ini juga dahulunya menjadi tempat pemukiman awal masyarakat etnis Nias di kota Padang.[129]
Kemudian di pelabuhan Teluk Bayur terdapat beberapa kawasan wisata seperti pantai Air Manis, tempat batu Malin Kundang berdiri.[130] Selain itu, terus ke selatan dari pusat kota juga terdapat kawasan wisata pantai Caroline, dan pantai Bungus,[131] serta sebuah resort Wisata yang terletak di pulau Sikuai.[132]
Sedangkan ke arah kecamatan Koto Tangah, terdapat kawasan wisata pantai Pasir Jambak, serta kawasan wisata alam Lubuk Minturun,[133] yang populer dalam tradisi balimau dan ramai dikunjungi oleh masyarakat terutama sehari sebelum masuk bulan Ramadhan.[134]
Kota ini juga terkenal akan masakannya. Selain menjadi selera sebahagian besar masyarakat Indonesia, masakan ini juga populer sampai ke mancanegara.[135] Makanan yang populer diantaranya seperti Gulai, Rendang, Ayam Pop, Terung Balado, Gulai Itik Cabe Hijau, Nasi Kapau, Sate Padang dan Karupuak Sanjai. Restoran Padang banyak terdapat di seluruh kota besar di Indonesia. Meskipun begitu, yang dinamakan sebagai "masakan Padang" sebenarnya dikenal sebagai masakan etnis Minangkabau secara umum.[3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar