Saat Olimpiade Beijing 2008, hujan menjadi kekhawatiran penyelenggara pesta olahraga akbar ini. China menyiapkan tiga teknologi mutakhir untuk menghindari hujan. Pertama, dia menyiapkan meriam penangkis udara yang berisi garam iodium untuk mengikat butiran air di awan. Kedua, dengan menyediakan peluncur roket jika upaya pertama gagal dilakukan. Ketiga, menggunakan pesawat ringan untuk menebarkan katalis pada awan hitam. Dan terbukti, dengan upaya pertama saja mendung berhasil disingkirkan dan olimpiade berlangsung tanpa hujan.
Tentu saja teknologi ini sangat mahal. Bangsa kita punya cara yang relatif murah dan mudah dilakukan yaitu dengan minta bantuan pawang hujan untuk menyingkirkan tetesan hujan di daerah tertentu. Pawang hujan sebagai perantara menurut kelaziman sebenarnya tidak boleh memasang tarif. Tetapi biasanya mereka diberi sangu (uang saku) mulai Rp250.000,00 sampai Rp1.500.000,00 bergantung jenis hajatan pengundang. Jika hanya acara khitan, pesta perkawinan, tentu lebih murah dibandingkan dengan acara besar seperti pentas musik, sepak bola, atau acara yang melibatkan banyak orang.
Bukan hanya murah, jasa pawang hujan dengan mantranya sebenarnya merupakan kekayaan budaya Indonesia. Di Jawa, keberadaan mereka masih tak tergantikan oleh teknologi karena terbukti hasilnya bisa diandalkan. Paling tidak bagi penyelenggara pertandingan sepak bola, nama Ki Ageng Sumari cukup dikenal. Dia dipercaya ‘menjaga’ situasi agar hujan tidak turun ketika Persebaya turun ke lapangan.
Mantra yang diucapkan Ki Ageng Sumari ini awalnya mantra kejawen tetapi kini dia menggunakan doa Islam sebagai pembuka meskipun ritualnya tetap kejawen. Profesi ini membuat Ki Ageng Sumari sering dimintai bantuan untuk menahan hujan di suatu tempat.
Ada lagi Joko Hari Nugroho, pawang hujan amatir yang dikenal dalam lingkungan terbatas yang bisa menahan hujan dengan doa-doa Islam yang sebenarnya tidak bisa dimasukkan dalam mantra. Tetapi karena Joko Hari Nugroho juga memasukkan unsur mantra, maka unsur ini yang akan dikaji maknanya.
Untuk mencegah agar tidak turun hujan di antara orang Betawi keturunan China memiliki kebiasaan untuk menusukkan sebutir bawang merah dan sebutir cabai merah pada tusuk sate yang kemudian ditancapkan pada pagar rumah. Untuk mencegah agar pada pesta pernikahan tidak turun hujan, orang Jawa Timur keturunan China mencegahnya dengan melarang mandi pada para calon mempelai sejak kemarin petangnya (Danandjaja, 1997:165).
Penelitian atas sastra lisan seperti mantra perlu dilakukan karena dari kajian-kajian ini akan terlihat budaya Indonesia yang beragam. Kajian linguistik pada mantra juga bisa menepis anggapan bahwa mantra selalu berkonotasi negatif. Bagi sebagian orang Jawa, sepanjang hidupnya selalu ada mantra yang menyertai mulai dari dalam kandungan, lahir, tumbuh, menikah, hingga mati. Ini menarik untuk dikaji.
Fungsi sastra lisan dalam masyarakat antara lain mengetahui apakah peranan sastra di dalam masyarakat. Jika sastra berperan dalam masyarakat, sedikit ataukah banyak ia mencerminkan keadaan budaya dan tata susunan masyarakat? Jika sastra lisan merefleksikan keadaan masyarakat, apakah yang direfleksikan itu (Hutomo, 1991:18).
Secara teori, kajian makna mantra akan menambah kekayaan penelitian linguistik mengenai bahasa yang digunakan dalam budaya masyarakat. Meski dianggap kuno, kenyataannya sampai saat ini mantra masih berkembang meski sudah dimodifikasi. Penelitian tentang mantra membuktikan bangsa ini memiliki kekayaan budaya yang layak diteliti. Kajian makna mantra akan menambah kekayaan penelitian sastra lisan maupun linguistik mengenai bahasa yang digunakan dalam budaya masyarakat. Jasa dan mantra pawang hujan masih banyak digunakan dalam masyarakat. Manfaat penelitian ini untuk mengetahui makna mantra yang digunakan pawang hujan.
Masalah yang akan dibahas hanya pada mantra dan bukan doa. Karena dua pawang hujan yang menjadi sumber data sudah mengolaborasikan mantra dengan doa Islam, maka doa Islam tidak akan dibahas karena tidak termasuk dalam mantra.
Ciri-ciri sastra lisan adalah penyebarannya melalui mulut, lahir di dalam masyarakat yang berdorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf. Sastra lama menggambarkan ciri budaya suatu masyarakat sebab sastra itu warisan budaya, tidak diketahui siapa pengarangnya dan oleh karena itu menjadi milik masyarakat. Sastra ini bercorak puitis, teratur, berulang-ulang, juga tidak mementingkan fakta dan kebenaran kebih menekankah pada aspek khayalan/fantasi yang tidak bisa diterima masyarakat modern. Biasanya, sastra lisan itu terdiri dari beberapa versi, menggunakan bahasa lisan sehari-hari, tidak menggunakan dialek, dan kadang-kadang diucapkan tidak lengkap (Hutomo, 1991:3).
Mantra pawang hujan sebenarnya termasuk sastra lisan primer meskipun sekarang banyak yang menuliskan mantra milik pawang hujan ini. Sastra lisan primer adalah hasil sastra lisan yang tidak dikenal versi tulisnya dan penyampaiannya umumnya secara langsung dan terlebih dulu tidak perlu menghafalkan teks tulis. Sebaliknya, sastra lisan sekunder adalah hasil sastra lisan yag didahului oleh teks tulisannya. Teks tulis ini dibaca dan dihafal baru kemudian dilisankan pada khalayak pendengar (Hutomo, 1998:224).
Mantra merupakan salah satu produk sastra sebagai sebuah kebudayaan yang pernah mewarnai kehidupan masyarakat di Nusantara. Matra bisa berupa puisi lisan yang berpotensi memiliki kekuatan gaib atau semacam doa yang memanfaatkan bahasa lokal dengan didasari oleh keyakinan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Agar dapat dimanfaatkan, mantra tidak cukup untuk sekadar dihafalkan, tetapi harus disertai laku mistik (Saputra, 2007:xxv).
Mantra menurut leksikon Sansekerta berasal dari kata man/manas ‘berpikir/pikiran’ dan tra/tri ‘melindungi’. Jadi, apabila kita berpijak pada pengertian tersebut, artinya mantra bersifat melindungi pikiran manusia dari nafsu-nafsu rendah duniawi. Secara sederhana mantra diartikan sebagai perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (KBBI, 2008:876). Tim Penyusun Kamus berpendapat tentang pengertian mantra adalah (1) perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib (misal: dapat menyembuhkan; mendatangkan celaka; dan sebagainya); (2) susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
Mantra memiliki banyak jenis berdasarkan fungsinya, yaitu mantra pengasihan, mantra kanuragan, mantra kasuksman, mantra pertanian, mantra dagang/penglarisan, mantra panyuwunan, mantra panulakan, mantra pengobatan, mantra trawangan/sorog, mantra panglarutan, mantra sirep/panglerepan, mantra pangracutan, dan mantra dhanyangan.
Era modern dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, ternyata masih menyisakan ruang bagi tradisi lisan, khususnya mantra. Namun pada kenyataannya tradisi lisan hanya mampu berkembang di pelosok-pelosok desa. Kebingungan manusia untuk membedakan antara tradisi dan modern, akhirnya menuntut manusia untuk menggabungkan antara yang dianggap tradisi dan yang dianggap modern. Dalam kehidupan masyarakat modern, tidak jarang mantra menunjukkan keberadaannya pada situasi-situasi tertentu.
Kesulitan dan kepenatan berbagai permasalahan hidup di zaman modern ini, oleh sebagian masyarakat Jawa khususnya, mantra dipercaya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai berbagai keinginannya. Yang menarik, mantra menunjukkan keberadaannya yakni mampu mengatasi berbagai permasalahan seperti rumah tangga, percintaan, ketenagakerjaan, kesehatan, hukum adat (warisan), pekerjaan, pertanian, tolak balak, tumbal, dan perdagangan.
Sebagai produk bahasa, mantra memiliki medan makna sesuai dengan latar belakang penuturnya. Menurut Harimurti Kridalaksana dalam Chaer (2002), medan makna (semantic field, semantik domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.
Istilah teori medan makna berkaitan dengan teori bahwa perbendaharaan kata dalam suatu bahasa memiliki medan struktur, baik secara leksikal maupun konseptual, yang dapat dianalisis secara sinkronik, diakronis, maupun secara paradigmatik (Aminuddin, 2008:108). Ini dikuatkan oleh Sembiring (2005:49) dalam kumpulan tulisan Pesona Bahasa yang menyatakan medan merupakan istilah yang mengacu pada hal atau topik. Medan makna merupakan subjek atau topik dalam teks untuk pembicaraan.
Pandangan F. De Saussure dalam Parera (2004:138) mengungkapkan bahwa medan makna adalah suatu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada simililaritas atau kesamaan, kontak/hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata. Makna kata ditentukan oleh tempat titik yang menggambarkannya dalam keseluruhan jaringan. Aspek yang paling penting dari jaringan semantik ini ialah hubungan hierarki dari sebuah himpunan.
Kajian yang akan dipakai adalah makna mantra sebagai perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib dan medan makna menurut Harimurti Kridalaksana. Penelitian tentang fungsi mantra pawang hujan ini memanfaatkan teori Ruth Finnegan yang menguraikan pengaruh puisi lisan termasuk mantra. Menurut Finnegan, pengaruh puisi lisan tidak harus bergantung pada sifat permanen teks, tetapi pada lingkungan sekitar tempat puisi lisan (Sudikan, 2001:115). Secara umum, puisi lisan meliputi ritual penyembuhan, penyelesaian perselisihan, menambah kekhidmatan upacara, memberi kenyamanan, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar